Ciri
khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide
tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting
industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan
waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya
era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood,
setidaknya 10 tahun belakangan.
Sekedar catatan, melalui film
ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori
postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis
fenomena digitaliasi masyarakat kontemporer. Terlebih lagi keunggulan
film ini bagi saya, tidak serumit memahami film The Matrix, karena
menyimak film itu harus beberapa kali merewind setiap shot yang dianggap
penting. Sebaliknya Simone terbilang cukup ‘rileks’. Unsur dramatis
film ini mampu ‘menyederhanakan’ konsep Simulasi dan hiperealitas
peningglan selebritis postmo Jean Baudrillard, dengan sentuhan apik nan
gurih dicerna tanpa membuat jidat penonton berkerut.
Film Simone
diproduseri oleh rumah produksi New Line Cinema ini mengetengakan kisah
tentang karir seorang sutradara gaek Viktor Taransky. Ambisi Viktor
mempertahankan idealismenya semata-mata demi mempertimbangkan sisi
kualitas pemainya menjadi ‘mimpi manis’ bagi jalan hidup karir sutradara
Viktor. Negoisasai antara kualitas pemain dan keuntungan finanasial,
bukan-lah tujauan akhir dari idealisme sang sutradara.
Bermula
ketika kesulitan menghadirkan pemain utama, kandas oleh nilai kontrak
yang tergolong besar untuk ukuran kantong sutradara “kecil” macam
Viktor. Entah seperti mendapat ‘wangisit’, melalui koleganya seorang
insinyur komputer bernama Hank Angelo, peluang karir Viktor di dunia
perfilman diprediksi bakal melejit, ketika Hank menghadiakan Viktor
seperangakat data lunak yang didalamnya ternyata bersemayam sosok
manusia digital hasil manipulasi rumusan angka matematika. Hingga
akhirnya Viktor menjatuhkan pilihanya pada sosok virtual tersebut,
menjadi bintang utama dalam filmnya. Dari sinilah awal karir sang
sutradara itu menapaki kesuksesaan berkat memanfaatkan sosok maya
pemberian Hank Angelo.
Meminjam pemikiran Filsof Prancis Jean
Baudrillard, film ini terilhami dari teorinya tetang paraktik simulasi
dalam peta perkembangan masyarakat mukhtahir. Baudrillard mengintrodusir
karakter khas masyarakat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Sebuah
entitas masyarakat yang hidup dalam jibaku ruang kode, tanda, dan model
yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulasi. Ciri
dari masyarakat yang mengkuduskan praktik konsumsi sebagai gaya hidup
dan prestise pengkultusan individu.
Dalam wacana simulasi, manusia
mendiami sebuah ruang yang mengeliminir perbedaan antara yang nyata dan
fantasi, asli dan palsu terkesan sangat tipis. Dramatisasi unsur teorema
simulasi dalam film Simone tercermin pada sosok Simone sebagai artis
virtual hasil kerja digitalisasi komputer dibawah kendali sang sutradara
Victor Taransky.
Simone: Simulasi One
Dalam film
Simone, praktik simulasi nampak pada kehadiran sosok perempuan virtual
hasil ciptaan teknologi komputerisasi dalam wujud hologram-yang kemudian
diberi nama Simone, singkatan dari simulasi one.
Sembilan bulan
kemudian, sosok Simone “manusia buatan” ini- dikendalikan oleh Viktor
demi mewujudkan ambisinya sebagai sutradara handal. Viktor telah
“memanfaaatkan” Simone atas nama citra dan pamor karir cinemanya.
Walhasil, melalui sentuhan kreativitas Viktor, Sosok Simone yang
sebenernya hanya virtual itu telah menjadi bagian dalam kehidupan
masyarakat diseluruh belahan dunia. Respon Media massa turut andil
mengkonstruksi karakter simbolis selebritis Simone melambungkan namanya
menjadi bintang film kawakan. Sejumlah liputan dan talk show jarak jauh
oleh media massa turut menambah drajat performativitas Simone hingga
mendapat tempat di hati penggemarnya.
Namun dibalik
ketenaranya, tidak ada yang tahu, kehadiran Simone hanya akal-akalan
Viktor melalui kendali komputer diruang kerjanya. Viktor sepenuhnya
mengendalikan Simone, seperti: manipulasi suara dalam percakapan
mengunakan bahasa tuturan yang diaturnya, mengatur mimik wajah, pilihan
busana, hingga rekayasa air mata buatan turut memberi kesan sedih dan
ibah pada sosok maya Simone. Atas rekayasa itu, membuat publik tak
jarang larut dalam rasa simpati mendalam atas Simone. Publik meresa
telah memiliki Simone, dan akhirnya publikpun takut kehilangannya.
Kepiawayaan alur narasi cinema yang apik oleh sutradara Anderew
Nicola dalam menyadur teori simulasinya Buadriral, layak dianjungi
jempol. Sangat jarang seorang sutradara dalam kapasitasnya mampu maramu
teori atau konsep-konesep abstark filsafat menjadi lebih muda dipahami.
Bagi saya Simone berhasil mengurai benang kusut praktik-praktik
simulasi. Setidaknya terlihat dalam film ini memberikan pesan berupa
peringatan atas bahaya kuasa dunia simulasi, mampu mengubah yang
imajiner,palsu dan ilutif menjadi realitas yang sesungguhnya dalam
masyarakat yang termediasikan oleh tanda dan symbol. Salah satunya
teramati pada adegan, ketika rasa penasaran publik memicu kecurigaan
perihal sosok Simone yang sangat tertutup. Dua orang pihak berwajib
mencurigai Viktor telah memasung (menyembunyikan) Simone. Kecurigaan itu
nampak dalam adegan ketika dua orang detektif saat memperhatikan lokasi
wawancara Simone di sebuah tayangan televise, ketika mereka mendatangi
lokasi tersebut, dan mencocokan foto hasil rekaman di media- ternyata
ditemukan bukti ada ketidaksamaan posisi saat pengambilan gambar, bahwa
temuan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Dimana pada lokasi yang
sebenarnya tidak ada latar gunung, seperti pada wawancara di salah satu
stasion televisi. Pihak berwajib mengklaim Justru seharusnya sebuah
hotel menjadi latar, namun kenyataanya tidak nampak. Kedua polisi ini
pun dibut bingung. Hingga makin meyakini kecurigaan mereka bahwa simone
sengaja disembunyikan oleh viktor.
Pada kondisi inilah
batasan antara realitas dengan imajinasi kian sukar dibedakan dalam
silang-marut tanda menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan;
menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh,
realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas
yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat.
Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta.
Hiperrealitas
Simone sebagai bintang film benar-benar nyata dihadapan publik.
Perangkat super komputer telah mejadikanya seolah bernyawa seperti
layaknya manusia. Pengalaman publik atas Simone dalam hyperreal dunia
yang dilipat oleh manipulasi citra (diselenggarakan dalam cengkeraman
simulacra)
Publik atau audience penggemar Simone telah mendiami
sebuah ruang tanda yang sarat dengan duplikasi dan daur ulang berbagai
fragmen dan citra dari sosok virtual Simone. Duplikasi realtias ini
mewujud dalam lipatan –lipatan realtias. (baca: Hiperealitas) ketika
publik mempercayai Simone adalah sosok nyata tanpa cacat yang hidup dan
beraktivitas layaknya manusia normal. Manipulasi virtualisasi Simone
menyebar hingga publikpun menantikan kehadiran sosok Simone dalam film
garapan Viktor selanjutnya. Masa menunggu ini menjadi desakan publik
bagi viktor untuk menggarap ulang film yang diperankan Simone.
Penantian banyak penggemar seolah menjadi kehararusan betapa Simone
dicintai oleh masyarakat. Mislanya ketika publik menanti kedatangan
Simone turun dari Limosine, namun figure simone tak pernah menampakan
batang hidungnya. Justru muncul malah Viktor yang bertindak sebagai
juru bicara Simone. Ulah Viktor ini membuat kecewa pengemarnya. Belum
lagi menyusul sejumlah media bersaing mewawancarainya, hingga tak jarang
jadi rebutan tampil secara eksklusif disejumlah media papan atas.
Publikpun sempat dibuat histeris ketika Simone hadir megisi konser
akbar, meski penampilanya tidak secara langsung. Namun cukup meredupkan
kerinduan pengermarnya. Daya pikat Simone membuat mata penonton tak
henti-henti memuja idolanya itu. Sampai pada suatu ketika Simone
didaulat sebagai pemenang Oscar kategori bintang film terbaik untuk dua
film karya Viktor sekaligus. Publik mempercyai bahwa Simone layak
memperoleh penghargaan bergensi itu.
Sampai pada suatu
ketika lipatan simulasi ini beroperasi tanpa disadari Vktor, saat moment
penganugrahan film terbaik, terjadi insiden cukup memalukan karena
viktor justru tertipu oleh dirinya sendiri yang tak lain adalah simone.
Dalam sambutan penganugerahan simone mengucapkan terimaksaih kepada
pihak yang telah berkerjasama mensukseskan film yang dibintanginya,
namun ironisnya Simone tidak mengucapakan terimasakihnya kepada Viktor
sebagai sutradara, hanya kerena viktor sendri tidak memprorgram ucapan
itu sebagaimana bisanya ia melakukan peniruan suara dan ucapan untuk
dituturkan Simone. Sesuatu yang barang kali menjadi tidak mungkin karena
harus menyatakan terimakasih bagi dirinya sendiri. Sosok viktor pun
sebenarnya juga ditipu secara tidak sadar ikut larut dalam lapisan
simulacrum yang telah dibuatnya itu.
Tingkat frustasi Viktor
atas desakan pengemar Simone dan represifitas media massa menggugat rasa
ingin tahu atas identitas simone, membuat dirinya berusaha membuka
rahasia ini kepada mantan istrinya. Viktor mencoba meyakinkan mantan
istrinya (Elaine) bahwa Simone adalah hasil ciptaanya, namun lagi-lagi
Elaine tidak begitu saja mempercayainya malah justru dengan mudahnya ia
mengatakan setiap artis/aktor diciptakan oleh sutradara. Hal ini
sekaligus membantah bahwa Simone bukanlah sosok imajiner. Sehingga layak
untuk dipecaya sebagai sebuah kenyataan dalam lingkaran dunia
hiperealias. Simak peryantaan Viktor berikut ini:
Viktor: Simone
bukan orang sungguhan/ Aku yang menciptakan Simone, dari kode computer
yang dibuat dari persamaan matematika/ tidak ada Simone. Simone adalah
aku/ aku mengambil hal yang tak nyata dan membuatnya nyata. Aku memberi
kehiduapan pada mesin.
Begitupun pada adegan, ketika viktor
ingin melenyapkan Simone, dalam percakapanya berikut ini: viktor: kita
semua hidup dalam sebuah kebohongan besar, tapi kenapa (somone) tak
hidup juga./ kau lebih asli dari semua orang yang memuja-mu/aku telah
meyakinkan kepada dunia bahwa kau ada/ tapi yang sebenarnya yang
kulakukan adalah meyakikan mereka bahwa aku yang ada/masalahnya karena
bukan kamu manusia, tapi karena aku manusia.
Kerja keras Viktor
mempertahankan Simone demi menjaga agar kebohongan Public ini tetap
terjaga rahasianya terus mendapat tekanan dari pengemarnya sampai suatu
ketika ia tak kuasa lagi menerima kenyataan Mempercayai sosok simone
sebagai sosok nyata. Viktor akhirnya berusaha menghapus jejak Simone
dengan memasukan virus di dalam programnya. Akan tetapi tindakanya itu
malah jadi boomerang baginya dikarenakan ia telah menyatakan ke publik
bahwa Simone telah meninggal. Maka tak ayal jeratan hukum telah
menghantaui Viktor. Dalam sebuah masyarakat yang sudah tersimulasi,
publik telah terlanjur mempercayai Simone sebagai manusia, Viktor lupa
bahwa tindakanya itu akan menjeratnya pada tindakan pidana
Sejumlah alat bukti cukup kuat memposisikan viktor sebagai pelaku
pembunuhan Simone. Ketika viktor megumumkan kematian Simone ke publik.
Pihak kepolisian setempat menuding Viktor dalang pembunuh Simone.
Kecurigaan ini mencapai puncaknya saat pemakaman, ketika peti jenasah
akan didoakan, saat itu polisi datang mengamati peti dan menemukan tidak
ada jenazah Simone di dalamnya. Alasan ini menjadi pembenaran yang
diajukan pihak berwajib menuduh Viktor sekali lagi sebagai otak
pembunuh Simone yang sebenrnya hanya sosok virtual itu.
Viktor
mencoba meyakinkan pihak kepolisian tentang sosok virtual Simone,
justru dianggap tidak rasional. Alasanya mereka masih tetap meyakini
Simone adalah sosok manusia. Jika ditelisik disinilah kuasa tanda dalam
ruang simulacra telah “membutakan”publik, bahwa sebenarnya tidak ada
pembunuhan terhadap Simone. Viktor mengakui bahwa simone itu hanyalah
tipuan computer, semua pemberitaan di media: Koran, majalah, radio dan
televise adalah palsu. Namun pihak berwajib tetap sulit menerima
argument dan pembelaanya yang dinilai sulit dinalar meningat banyaknya
pengemar sebagai bukti kuat Simon adalah sosok manusia nyata.Seperti
dalam percakapan berikut:
Polisi: peggemar Simone itu benar-benar ada
Victor: sebenarnya mereka mengagumi kode computer, anggka satu dan nol.
Polisi: jadi mustahil kau membunuh Simone
Vikctor: ya, karena memang tidak ada Simone
Refleksi
Ketika masyarakat telah tersusupi dalam ruang tanda, maka segala yang
palsu dianggap benar, hingga meyakininya melebihi realitias yang
sebenarnya… sama kasusnya ketika ada diantara kita masih menganggap
pemberitaan di media, hasutan iklan, ocehan legislatif, janji murahan
pemerintah, gossip selebritis, tayangan pencarian bakat hingga program
acara yang diklaim mengusung genre reality show merupakan kebenaran atau
realitas sesungguhnya, padahal Bagi Baudrillard melalui konsep
simulasi, hal itu tidak lebih sebagai arena manipulasi citra dan
konstruksi imajinasi atas kuasa tanda dalam masyarakat post industrial
dewasa ini.
Dengan contoh yang sederhana Baudrillard
meilustrasikan dunia simulasi menyerupai analogi peta. Menurutnya, bila
dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu
wilayah, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi malah sebaliknya.
Peta mendahului (melampaui) wilayah. Realitas sosial, budaya,ekonomi
bahkan politik, dirujuk berlandaskan bangunan model-model yang telah
dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, keliru jika menganggap realitas
adalah kenyataan yang otentik, justru model dan tampilan itulah
diyakini sebagai kenyataan (Baudrillard, 1987: 17). Ambil contoh
sebagian masyarkat dewasa ini terpukau pada Boy Band Korea, Indonesian
idol, Boneka Barbie, tokoh Superman, iklan televisi, Sinetron atau
Mickey Mouse. Hingga merambah pada dunia miniature, misalnya Disneyland,
Trans studio dan Taman Mini indonesia Indah, turut menuguhkan
imajinasi dunia hiburan yang semu, namun diyakini sebagai kenyataan
tanpa tanding itu, adalah model-model acuan nilai, representasi dan
makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Lebih jauh lagi
Baudrillard berdalih, saat ini telah terjadi perubahan dalam struktur
masyarakat. Jika sebelumnya adalah Masyarakat industrial, saat ini
telah ditandai oleh masyarakat konsumer: masyarakat yang memilki hasrat
mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga
objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan
kesejahteraan yang didenyutkan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut,
kemajuan ilmu dan teknologi, provokasi media dan iklan. semuanya lebur
menjadi satu dalam gerakan silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987:
33). Lebih lugas lagi David Harvey mengatakan Kapitalisme lanjut yang
bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah
memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi
kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey,
1989: 102).
Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam labirin kesemuan tanpa batas, teralieanasi tanpa kuasa
Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena digitaliasi masyarakat kontemporer. Terlebih lagi keunggulan film ini bagi saya, tidak serumit memahami film The Matrix, karena menyimak film itu harus beberapa kali merewind setiap shot yang dianggap penting. Sebaliknya Simone terbilang cukup ‘rileks’. Unsur dramatis film ini mampu ‘menyederhanakan’ konsep Simulasi dan hiperealitas peningglan selebritis postmo Jean Baudrillard, dengan sentuhan apik nan gurih dicerna tanpa membuat jidat penonton berkerut.
Film Simone diproduseri oleh rumah produksi New Line Cinema ini mengetengakan kisah tentang karir seorang sutradara gaek Viktor Taransky. Ambisi Viktor mempertahankan idealismenya semata-mata demi mempertimbangkan sisi kualitas pemainya menjadi ‘mimpi manis’ bagi jalan hidup karir sutradara Viktor. Negoisasai antara kualitas pemain dan keuntungan finanasial, bukan-lah tujauan akhir dari idealisme sang sutradara.
Bermula ketika kesulitan menghadirkan pemain utama, kandas oleh nilai kontrak yang tergolong besar untuk ukuran kantong sutradara “kecil” macam Viktor. Entah seperti mendapat ‘wangisit’, melalui koleganya seorang insinyur komputer bernama Hank Angelo, peluang karir Viktor di dunia perfilman diprediksi bakal melejit, ketika Hank menghadiakan Viktor seperangakat data lunak yang didalamnya ternyata bersemayam sosok manusia digital hasil manipulasi rumusan angka matematika. Hingga akhirnya Viktor menjatuhkan pilihanya pada sosok virtual tersebut, menjadi bintang utama dalam filmnya. Dari sinilah awal karir sang sutradara itu menapaki kesuksesaan berkat memanfaatkan sosok maya pemberian Hank Angelo.
Meminjam pemikiran Filsof Prancis Jean Baudrillard, film ini terilhami dari teorinya tetang paraktik simulasi dalam peta perkembangan masyarakat mukhtahir. Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Sebuah entitas masyarakat yang hidup dalam jibaku ruang kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulasi. Ciri dari masyarakat yang mengkuduskan praktik konsumsi sebagai gaya hidup dan prestise pengkultusan individu.
Dalam wacana simulasi, manusia mendiami sebuah ruang yang mengeliminir perbedaan antara yang nyata dan fantasi, asli dan palsu terkesan sangat tipis. Dramatisasi unsur teorema simulasi dalam film Simone tercermin pada sosok Simone sebagai artis virtual hasil kerja digitalisasi komputer dibawah kendali sang sutradara Victor Taransky.
Simone: Simulasi One
Dalam film Simone, praktik simulasi nampak pada kehadiran sosok perempuan virtual hasil ciptaan teknologi komputerisasi dalam wujud hologram-yang kemudian diberi nama Simone, singkatan dari simulasi one.
Sembilan bulan kemudian, sosok Simone “manusia buatan” ini- dikendalikan oleh Viktor demi mewujudkan ambisinya sebagai sutradara handal. Viktor telah “memanfaaatkan” Simone atas nama citra dan pamor karir cinemanya.
Walhasil, melalui sentuhan kreativitas Viktor, Sosok Simone yang sebenernya hanya virtual itu telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat diseluruh belahan dunia. Respon Media massa turut andil mengkonstruksi karakter simbolis selebritis Simone melambungkan namanya menjadi bintang film kawakan. Sejumlah liputan dan talk show jarak jauh oleh media massa turut menambah drajat performativitas Simone hingga mendapat tempat di hati penggemarnya.
Namun dibalik ketenaranya, tidak ada yang tahu, kehadiran Simone hanya akal-akalan Viktor melalui kendali komputer diruang kerjanya. Viktor sepenuhnya mengendalikan Simone, seperti: manipulasi suara dalam percakapan mengunakan bahasa tuturan yang diaturnya, mengatur mimik wajah, pilihan busana, hingga rekayasa air mata buatan turut memberi kesan sedih dan ibah pada sosok maya Simone. Atas rekayasa itu, membuat publik tak jarang larut dalam rasa simpati mendalam atas Simone. Publik meresa telah memiliki Simone, dan akhirnya publikpun takut kehilangannya.
Kepiawayaan alur narasi cinema yang apik oleh sutradara Anderew Nicola dalam menyadur teori simulasinya Buadriral, layak dianjungi jempol. Sangat jarang seorang sutradara dalam kapasitasnya mampu maramu teori atau konsep-konesep abstark filsafat menjadi lebih muda dipahami. Bagi saya Simone berhasil mengurai benang kusut praktik-praktik simulasi. Setidaknya terlihat dalam film ini memberikan pesan berupa peringatan atas bahaya kuasa dunia simulasi, mampu mengubah yang imajiner,palsu dan ilutif menjadi realitas yang sesungguhnya dalam masyarakat yang termediasikan oleh tanda dan symbol. Salah satunya teramati pada adegan, ketika rasa penasaran publik memicu kecurigaan perihal sosok Simone yang sangat tertutup. Dua orang pihak berwajib mencurigai Viktor telah memasung (menyembunyikan) Simone. Kecurigaan itu nampak dalam adegan ketika dua orang detektif saat memperhatikan lokasi wawancara Simone di sebuah tayangan televise, ketika mereka mendatangi lokasi tersebut, dan mencocokan foto hasil rekaman di media- ternyata ditemukan bukti ada ketidaksamaan posisi saat pengambilan gambar, bahwa temuan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Dimana pada lokasi yang sebenarnya tidak ada latar gunung, seperti pada wawancara di salah satu stasion televisi. Pihak berwajib mengklaim Justru seharusnya sebuah hotel menjadi latar, namun kenyataanya tidak nampak. Kedua polisi ini pun dibut bingung. Hingga makin meyakini kecurigaan mereka bahwa simone sengaja disembunyikan oleh viktor.
Pada kondisi inilah batasan antara realitas dengan imajinasi kian sukar dibedakan dalam silang-marut tanda menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta.
Hiperrealitas
Simone sebagai bintang film benar-benar nyata dihadapan publik. Perangkat super komputer telah mejadikanya seolah bernyawa seperti layaknya manusia. Pengalaman publik atas Simone dalam hyperreal dunia yang dilipat oleh manipulasi citra (diselenggarakan dalam cengkeraman simulacra)
Publik atau audience penggemar Simone telah mendiami sebuah ruang tanda yang sarat dengan duplikasi dan daur ulang berbagai fragmen dan citra dari sosok virtual Simone. Duplikasi realtias ini mewujud dalam lipatan –lipatan realtias. (baca: Hiperealitas) ketika publik mempercayai Simone adalah sosok nyata tanpa cacat yang hidup dan beraktivitas layaknya manusia normal. Manipulasi virtualisasi Simone menyebar hingga publikpun menantikan kehadiran sosok Simone dalam film garapan Viktor selanjutnya. Masa menunggu ini menjadi desakan publik bagi viktor untuk menggarap ulang film yang diperankan Simone.
Penantian banyak penggemar seolah menjadi kehararusan betapa Simone dicintai oleh masyarakat. Mislanya ketika publik menanti kedatangan Simone turun dari Limosine, namun figure simone tak pernah menampakan batang hidungnya. Justru muncul malah Viktor yang bertindak sebagai juru bicara Simone. Ulah Viktor ini membuat kecewa pengemarnya. Belum lagi menyusul sejumlah media bersaing mewawancarainya, hingga tak jarang jadi rebutan tampil secara eksklusif disejumlah media papan atas.
Publikpun sempat dibuat histeris ketika Simone hadir megisi konser akbar, meski penampilanya tidak secara langsung. Namun cukup meredupkan kerinduan pengermarnya. Daya pikat Simone membuat mata penonton tak henti-henti memuja idolanya itu. Sampai pada suatu ketika Simone didaulat sebagai pemenang Oscar kategori bintang film terbaik untuk dua film karya Viktor sekaligus. Publik mempercyai bahwa Simone layak memperoleh penghargaan bergensi itu.
Sampai pada suatu ketika lipatan simulasi ini beroperasi tanpa disadari Vktor, saat moment penganugrahan film terbaik, terjadi insiden cukup memalukan karena viktor justru tertipu oleh dirinya sendiri yang tak lain adalah simone. Dalam sambutan penganugerahan simone mengucapkan terimaksaih kepada pihak yang telah berkerjasama mensukseskan film yang dibintanginya, namun ironisnya Simone tidak mengucapakan terimasakihnya kepada Viktor sebagai sutradara, hanya kerena viktor sendri tidak memprorgram ucapan itu sebagaimana bisanya ia melakukan peniruan suara dan ucapan untuk dituturkan Simone. Sesuatu yang barang kali menjadi tidak mungkin karena harus menyatakan terimakasih bagi dirinya sendiri. Sosok viktor pun sebenarnya juga ditipu secara tidak sadar ikut larut dalam lapisan simulacrum yang telah dibuatnya itu.
Tingkat frustasi Viktor atas desakan pengemar Simone dan represifitas media massa menggugat rasa ingin tahu atas identitas simone, membuat dirinya berusaha membuka rahasia ini kepada mantan istrinya. Viktor mencoba meyakinkan mantan istrinya (Elaine) bahwa Simone adalah hasil ciptaanya, namun lagi-lagi Elaine tidak begitu saja mempercayainya malah justru dengan mudahnya ia mengatakan setiap artis/aktor diciptakan oleh sutradara. Hal ini sekaligus membantah bahwa Simone bukanlah sosok imajiner. Sehingga layak untuk dipecaya sebagai sebuah kenyataan dalam lingkaran dunia hiperealias. Simak peryantaan Viktor berikut ini:
Viktor: Simone bukan orang sungguhan/ Aku yang menciptakan Simone, dari kode computer yang dibuat dari persamaan matematika/ tidak ada Simone. Simone adalah aku/ aku mengambil hal yang tak nyata dan membuatnya nyata. Aku memberi kehiduapan pada mesin.
Begitupun pada adegan, ketika viktor ingin melenyapkan Simone, dalam percakapanya berikut ini: viktor: kita semua hidup dalam sebuah kebohongan besar, tapi kenapa (somone) tak hidup juga./ kau lebih asli dari semua orang yang memuja-mu/aku telah meyakinkan kepada dunia bahwa kau ada/ tapi yang sebenarnya yang kulakukan adalah meyakikan mereka bahwa aku yang ada/masalahnya karena bukan kamu manusia, tapi karena aku manusia.
Kerja keras Viktor mempertahankan Simone demi menjaga agar kebohongan Public ini tetap terjaga rahasianya terus mendapat tekanan dari pengemarnya sampai suatu ketika ia tak kuasa lagi menerima kenyataan Mempercayai sosok simone sebagai sosok nyata. Viktor akhirnya berusaha menghapus jejak Simone dengan memasukan virus di dalam programnya. Akan tetapi tindakanya itu malah jadi boomerang baginya dikarenakan ia telah menyatakan ke publik bahwa Simone telah meninggal. Maka tak ayal jeratan hukum telah menghantaui Viktor. Dalam sebuah masyarakat yang sudah tersimulasi, publik telah terlanjur mempercayai Simone sebagai manusia, Viktor lupa bahwa tindakanya itu akan menjeratnya pada tindakan pidana
Sejumlah alat bukti cukup kuat memposisikan viktor sebagai pelaku pembunuhan Simone. Ketika viktor megumumkan kematian Simone ke publik. Pihak kepolisian setempat menuding Viktor dalang pembunuh Simone. Kecurigaan ini mencapai puncaknya saat pemakaman, ketika peti jenasah akan didoakan, saat itu polisi datang mengamati peti dan menemukan tidak ada jenazah Simone di dalamnya. Alasan ini menjadi pembenaran yang diajukan pihak berwajib menuduh Viktor sekali lagi sebagai otak pembunuh Simone yang sebenrnya hanya sosok virtual itu.
Viktor mencoba meyakinkan pihak kepolisian tentang sosok virtual Simone, justru dianggap tidak rasional. Alasanya mereka masih tetap meyakini Simone adalah sosok manusia. Jika ditelisik disinilah kuasa tanda dalam ruang simulacra telah “membutakan”publik, bahwa sebenarnya tidak ada pembunuhan terhadap Simone. Viktor mengakui bahwa simone itu hanyalah tipuan computer, semua pemberitaan di media: Koran, majalah, radio dan televise adalah palsu. Namun pihak berwajib tetap sulit menerima argument dan pembelaanya yang dinilai sulit dinalar meningat banyaknya pengemar sebagai bukti kuat Simon adalah sosok manusia nyata.Seperti dalam percakapan berikut:
Polisi: peggemar Simone itu benar-benar ada
Victor: sebenarnya mereka mengagumi kode computer, anggka satu dan nol.
Polisi: jadi mustahil kau membunuh Simone
Vikctor: ya, karena memang tidak ada Simone
Refleksi
Ketika masyarakat telah tersusupi dalam ruang tanda, maka segala yang palsu dianggap benar, hingga meyakininya melebihi realitias yang sebenarnya… sama kasusnya ketika ada diantara kita masih menganggap pemberitaan di media, hasutan iklan, ocehan legislatif, janji murahan pemerintah, gossip selebritis, tayangan pencarian bakat hingga program acara yang diklaim mengusung genre reality show merupakan kebenaran atau realitas sesungguhnya, padahal Bagi Baudrillard melalui konsep simulasi, hal itu tidak lebih sebagai arena manipulasi citra dan konstruksi imajinasi atas kuasa tanda dalam masyarakat post industrial dewasa ini.
Dengan contoh yang sederhana Baudrillard meilustrasikan dunia simulasi menyerupai analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi malah sebaliknya. Peta mendahului (melampaui) wilayah. Realitas sosial, budaya,ekonomi bahkan politik, dirujuk berlandaskan bangunan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, keliru jika menganggap realitas adalah kenyataan yang otentik, justru model dan tampilan itulah diyakini sebagai kenyataan (Baudrillard, 1987: 17). Ambil contoh sebagian masyarkat dewasa ini terpukau pada Boy Band Korea, Indonesian idol, Boneka Barbie, tokoh Superman, iklan televisi, Sinetron atau Mickey Mouse. Hingga merambah pada dunia miniature, misalnya Disneyland, Trans studio dan Taman Mini indonesia Indah, turut menuguhkan imajinasi dunia hiburan yang semu, namun diyakini sebagai kenyataan tanpa tanding itu, adalah model-model acuan nilai, representasi dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Lebih jauh lagi Baudrillard berdalih, saat ini telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat. Jika sebelumnya adalah Masyarakat industrial, saat ini telah ditandai oleh masyarakat konsumer: masyarakat yang memilki hasrat mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang didenyutkan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, provokasi media dan iklan. semuanya lebur menjadi satu dalam gerakan silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33). Lebih lugas lagi David Harvey mengatakan Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam labirin kesemuan tanpa batas, teralieanasi tanpa kuasa
Categories:
Film
One Response so far.