BLOGGER DASUS

Search



Film perancis ini berjudul asli Les Choristes. Cerita bersetting sebuah sekolah berasrama dengan anak-anak yang keseluruhan adalah cowok dan spesial, Fond de L' Etang (arti harafiah, Dasar Danau). Siswa disana sebagian besar adalah siswa kurang mampu, siswa yatim-piatu, siswa bermasalah baik perilaku maupun akademis. Cerita diawali dengan kematian ibu dari seorang konduktor dan musisi terkenal, Pierre Morhange. Kematian ibunya membuat Morhange harus kembali ke kampung halamannya. Di sana, ia bertemu kembali dengan Pepinot, teman satu sekolahnya dulu. Dan cerita mulai mengalir dengan flashback mereka berdua, lima puluh tahun yang lalu..... 

Hidup siswa-siswa Fond de L'Etang mulai berubah dengan datangnya Clement Mathieu, seorang mantan musisi untuk menjadi pengawas asrama mereka dan mengajar musik. Mathieu begitu terkejut dengan sistem disiplin yang begitu keras di sekolah yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Mon. Rachin ini. Ada aksi maka ada reaksi. Ada kesalahan berarti ada hukuman. Hukumannya luar biasa mengerikan. Tidak pantas untuk diceritakan. Mathie lalu mencoba memberi hukuman dengan caranya sendiri, yang membuat Rachin geram luar biasa. Dibandingkan menggosok sekolah, ia lebih memilih menghukum seorang siswa untuk mengurus pesuruh sekolah yang sedang sakit. Caranya ini membuat siswa2 tersebut lebih merasa nyaman. Mathie pun menemukan talenta luar biasa dalam hal bernyanyi dari siswa-siswa ini. Maka dibentuklah sebuah paduan suara yang membuat jalan hidup semua orang yang terlibat di dalamnya berubah. Pierre Morhange adalah anak berwajah malaikat dengan perilaku menyebalkan dan keras kepala. Namun kemampuan bernyanyi Morhange yang luar biasa perlahan-lahan merubah sikapnya dengan bantuan Mathieu. Lika-liku perjalanan kelompok paduan suara ini berakhir ketika sekolah mereka terbakar karena perbuatan salah seorang mantan siswa sekolah tersebut, ketika Mathieu sedang dalam tanggung jawab menjaga sekolah. Ia dipecat. Sekolah ditutup. Terinspirasi oleh Mathieu, Morhange masuk ke sebuah sekolah musik di Lyon dan mendapatkan beasiswa. Hingga ia menjadi terkenal sampai sekarang. 

 Film ini benar-benar inspiratif. Untuk orang yang akan berkecimpung di dunia pendidikan seperti aku, film ini bisa dijadikan referensi bagaimana mendidik anak-anak dengan kebutuhan luar biasa seperti siswa-siswa Fond de L'Etang ini. Setting pedesaan dan pegunungan Perancis ikut membuat film ini menarik. Juga lagu-lagunya yang bisa membuat bulu kuduk ini berdiri. Film ini banyak mendapatkan penghargaan untuk film berbahasa asing terbaik di beberapa ajang penghargaan (Salah satunya Academy Award tahun 2005). Film-film festival biasanya memang luar biasa indah dibandingkan film-film box office.
Read More …


Unsur-Unsur Intrinsik Puisi

1.    Diksi
Yaitu pilihan kata yang dipakai oleh penyair dalam mengungkapkan perasaan atau pikirannya. Beberapa kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan arti oleh penyair belum tentu bisa dipakai semuanya, ia hanya akan memilih salah satu atau tidak semua untuk mewakili apa yang hendak ia ungkapkan. Pemilihan kata dalam puisi sangat penting. Hal ini berpengaruh pada keindahan, kedalaman dan kepadatan makna puisi tersebut.
Perhatikan contoh di bawah ini!

Matahari marah
Ulah manusia
Menghancurkan semesta

Larik puisi di atas menjadi lebih bagus, lebih indah, lebih menusuk maknanya ketika kita ubah pilihan katanya menjadi sebagai berikut.

Mentari nanar
Ulah manusia
Membinasa semesta

Kata matahari  diganti dengan kata mentari, yang artinya sama. Kata marah diganti dengan nanar. Kedua kata ini memiliki kesamaan arti. Nanar di antara artinya dalam KBBI adalah marah sekali (mata gelap). Kata menghancurkan diganti dengan kata membinasa, yang memiliki kemiripan arti. Setelah penggantian dilakukan terasa puisi lebih menggetarkan di hati.

Inilah pentingnya diksi/pilihan kata. Kemampuan memilih kata ini sangat diperlukan untuk menjadi seorang penyair yang sukses. Kemampuan ini  kuncinya adalah penguasaan kosa kata yang banyak oleh penulis.


2. Kata Berlambang

Salah satu gaya bahasa atau pilihan kata yang dipakai dalam puisi adalah kata berlambang. Kata berlambang maksudnya adalah memilih suatu lambang untuk menyatakan makna tertentu. Lambang di sini adalah benda, contohnya pohon, pisau, bunga, dan lain-lain.
Perhatikan contoh berikut.

Ibu mencintamu seperti mentari
Ibu mencintamu seperti lautan
Hangat dan dalam

Kata mentari dan lautan menjadi lambang bagi cinta ibu.

Api membara
Membakar desa
Menjalar
Membakar kota
Membakar apa yang ada
Api dari mulut berbisa

Kata api dipakai untuk menjadi lambang bagi kata-kata yang keluar dari mulut orang yang suka memfitnah dan mengadu domba.


3.  Suasana
Suasana adalah perasaan yang timbul pada pembaca ketika membaca sebuah puisi. Seperti apa suasana hati yang timbul ketika sebuah puisi itu dibaca oleh seseorang. Bisa jadi kita merasakan suasana hati yang menyesal, kecewa, sedih, gembira, semangat, dan lain-lain.
Perhatikan contoh berikut.

Lelah dan letih tak peduli
Asa terus membara
Ada masa yang dicita
Di balik gunung pendakian pasti ada mentari
Yang cahayanya menerangi

Langkah tak akan henti
Peluh keringat tabungan hari
Lautan ilmu hendak direnangi

Suasan hati kita membaca puisi di atas adalah kita menjadi ikut bersemangat. Puisi di atas menggambarkan betapa bersemangatnya seseorang dalam menuntut ilmu.



4. Maksud Isi Puisi

Menggali makna puisi bukan pekerjaan mudah memang. Mencoba menentukan apa maksud sebenarnya di balik berbagai pilihan kata penulis puisi membutuhkan wawasan yang luas tentang berbagai hal, hati yang peka, dan lebih mantap lagi jika si pengulas juga seorang yang punya banyak jam terbang dalam menulis puisi.

Menafsirkan dengan pas maksud puisi tentu tidak bisa. Yang paling mungkin adalah mendekati maksud sebenarnya. Tentu terbuka penafsiran lain bagi yang juga ingin menafsirkan puisi yang sama.

Berikut penulis akan mencoba menafsirkan beberapa puisi dari penulis terkenal yang puisinya mungkin sudah kita kenal dan hafal. Terbuka kritik dan saran untuk penafsiran yang penulis. Yang mau bersama-sama membuat penafsiran, tentu itu yang lebih baik.









Jalan Segara
Karya Taufiq Ismail

Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan

Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini

Ditembuskan ke punggung
Anak-anaknya sendiri

1966

Analisis Puisi :

Jalan Segara menceritakan tentang kegiatan demonstrasi (mahasiswa). Segara artinya lautan. Seakan jalan raya telah dipenuhi lautan manusia yang berdemonstrasi menyampaikan keluhan-keluhannya kepada pemerintah yang zalim. Lalu pemerintah yang berkuasa menunjukkan kehebatan dan besarnya kekuatan mereka dengan menembak para demonstran itu. Tempat penembakan itu adalah di jalan, tempat di mana mereka berdemonstrasi. Tindakan zalim ini adalah sebuah bukti sikap pengecut penguasa. Mereka takut mengakui kesalahan dan bersikukuh dengan kekuasaannya walau harus menembak orang-orang yang hanya bersenjata suara dan hati nurani.

Dan pelor membayar pajak negeri ini.

Maksudnya adalah rakyat dengan segala kemiskinannya tak sanggup lagi menopang hidup keluarganya, apalagi membayar pajak. Kematian akhirnya menjadi harga yang pantas untuk melunasi pajak-pajak yang semestinya dibayar rakyat tersebut. Peluru yang ditembuskan ke dada mereka melunasi seluruh pajak yang semestinya mereka tanggungkan. Peluru itu ditembakkan penguasa saat demonstrasi dilakukan.
Larik ini adalah sebuah ejekan yang sangat pahit kepada para penguasa tentang betapa zalimnya penguasa saat itu.

Ditembuskan ke punggung anak-anaknya sendiri.
Semestinya penguasa menjadi pelindung rakyatnya, sebagaimana seorang ayah melindungi anak-anaknya. Yang terjadi adalah penguasa membunuh rakyatnya sendiri.






DERAI DERAI CEMARA
Karya Chairil Anwar

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

Analisis Puisi  :

Ketika membaca puisi ini, jiwa terasa langsung melayang, mengalun dalam suatu suasana yang lembut, indah, syahdu, tapi sayu.
Bait pertama puisi ini menjadikan suasana alam yang tampak oleh penyair sebagai perwakilan bagi apa yang saat itu ia rasakan. Secara keseluruhan puisi  ini menggambarkan perasaan Chiril yang merasa dirinya lebih tenang, lebih dewasa, lebih bisa merasakan makna kehidupan

Aku sekarang orangnya bisa tahan/sudah berapa waktu bukan kanak lagi/tapi dulu memang ada suatu bahan/ yang bukan dasar perhitungan kini.
Si Aku sekarang sudah bisa tahan berhadapan dengan bala dan warna-warni dunia. Daya tahan yang baru bisa dimiliki setelah melewati masa yang berat sebagai orang-orang yang belum berpengalaman. Pengalaman yang pahit, berat, dan panjanglah yang membuat orang bisa menjadi arif dan punya daya tahan terhadap ragam warna dunia. Si Aku sudah dewasa.

Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Akhir hidup ternyata sebuah kekalahan: kalah oleh ajal, kalah oleh nasib, kalah oleh takdir, kalah oleh waktu. Banyak hal yang tetap tak bisa diucapkan karena orang lain tak bisa memahaminya, atau ia merupakan rahasia pribadi, atau ia memang lebih baik untuk tidak didengar orang lain.

Read More …

Tulus adalah album perdana dari penyanyi Muhammad Tulus, dengan nama panggung Tulus. Diproduseri oleh Ari Renaldi, dimana Tulus dan kakak kandung Tulus, Riri Muktamar Rusydi, bertindak sebagai produser eksekutif, album ini dirilis melalui perusahaan rekaman sendiri bernama Tulus Record atau juga dikenal dengan nama Musik Tulus dan diedarkan oleh Demajors.

Read More …


 Aku Menangis Enam Kali


Aku dilahirkan di kota kecil. Orang tuaku hanya buruh kecil dengan pendapatan tak seberapa. Aku mempunyai seorang kakak lelaki, tiga tahun lebih tua dariku.

Tangisan pertama
Suatu ketika, sebuah jepit rambut mencuri perhatianku. Bentuknya manis dan lucu. Seperti yang dikenakan oleh teman-teman di sekolahku. Keinginan untuk memilikinya begtu kuat. Sehingga aku nekat mencuri uang ayahku sebesar lima ribu rupiah dari laci lemari pakaiannya, untuk segera membeli jepit rambut yang dijajakan itu. Tapi ayah mengetahui uangnya hilang. dengan sebilah rotan dia segera memanggil aku dan kakakku untuk mencari tahu siapa yang mencuri uangnya, "Siapa yang mencuri uang itu?"tanyanya. Aku terpaku, karena terlalu takut untuk berbicara. Karena ayah tidak mendengar pengakuan dari kami, dia mengatakan: "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dihajar!" Dia mengangkat tongkat rotan itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, kakakku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang mengambilnya!"
Tongkat rotan menghantam punggung kakakku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus menerus memukuli kakakku sampai kehabisan nafas. Sesudah itu, sambil duduk diatas bangku butut, ia kembali memarahi kakakku: "Kamu sudah jadi pencuri sekarang. Hal yang sangat memalukan. Bagaimana nanti jika di masa mendatang. Tentunya kau akan menjadi perampok! Tidak tahu malu!"

Malamnya, aku dan ibuku memeluk kakakku. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi dia tidak meneteskan air mata setetespun. Di tengah malam, aku mulai menangis, sejadi-jadinya. Tapi tangan kakakku segera menutup mulutku seraya berkata, "Sudahlah jangan menangis.Semuanya sudah terjadi." Aku membenci diriku sendiri karena tidak cukup punya keberanian untuk mengakui perbuatanku.

Tahun demi tahun telah berlalu, tapi insiden itu masih tergambar jelas. Aku tidak pernah lupa wajah kakakku ketika menghadapi hukuman itu untuk melindungiku. 
Waktu itu aku berusia 8 tahun dan kakakku 11 tahun.

Tangisan kedua
Ketika kakakku lulus dari SMA nya dan ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas. Begitupun aku yang lulus dari SMP dan berniat pula untuk melanjutkan ke SMA. Kami mendengar pembicaraan kedua orang tua kami : "Kedua anak kita pendidikannya telah memberikan hasil yang baik", kata ayah. "Tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita tak bisa membiayaikeduanya sekaligus." timpal ibu. "Akan aku coba mengusahakan agar kedua anak kita bisa melanjutkan sekolahnya."kata ayah.

Saat itu juga, kakakku menghampiri kedua orang tua kami dan berkata: "Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Sepertinya aku telah cukup mendapatkan ilmu." Tanpa dinyana ayah menampar kakakku, sambil berkata: "Mengapa kau mempunyai jiwa yang lemah?Aku akan berusaha untuk mencari uang untuk membiayai kau dan adikmu unruk tetap bersekolah. Jika aku perlu aku akan mengemis di jalanan. Anak laki-lakiku hatus meneruskan sekolah. Agar kita semua bisa keluar dari jurang kemiskinan ini."

Setelah melihat adegan tadi, diam-diam akupun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahku. Sampai pada keesokan hari, aku tak mendapati kakaku di rumah. Rupanya dia pergi meninggalkan rumah dan dia meninggalkan secarik kertas bertuliskan: "Masuk ke perguruan tinggi tidak mudah dan tidak murah. Aku pergi mencari kerja dan akan mengirimi kau uang agar kau bisa terus sekolah."

Aku memegang kertas itu di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran membasahi bantalku. Suaraku hilang. 
Waktu itu aku berusia 17 tahun dan kakakku 20 tahun.

Tangisan ketiga
Dengan uang bekal yang diberikan ayah dan kiriman dari kakakku yang sekarang bekerja di perusahaan konstruksi di kota besar. Akhirnya aku bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Suatu hari, aku sedang belajar di kamar kostku., ketika temanku memberitahukan, "Ada seorang penduduk desa menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada penduduk desa mencariku?Siapa dia? Aku berjalan keluar kamar dan melihat seseorang yang berpakaian lusuh. Seluruh badannya kotor kotor penuh debu. setelah melihat lebih dekat, ternyata kakakku, "Mengapa kau tidak bilang pada temanku bahwa kau kakakku?" Dia menjawab sambil tersenyum, " Lihat penampilanku. Apa yang mereka pikir jika mereka tahu aku adalah kakakmu? Pasti mereka akan menertawakanmu."

Aku terenyuh. Air mata memenuhi mataku. Aku segera menyapu debu-debu dari tubuh kakakku, dan berkata dengan tersendat-sendat,"Aku tidak peduli omongan siapapun!Kau adalah kakakku. apapun dan bagaimanapun penampilanmu."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan menjelaskan, "Aku melihat melihat semua gadis-gadis kota memakainya. Jadi aku pikir adikku harus memakainya juga." Aku tidak dapat menahan diriku lebih lama lagi. Aku memeluk kakakku lalu menangis dan menangis. 
Waktu itu aku berusia 21 tahun dan kakakku 24 tahun.

Tangisan keempat
Ketika musim liburan tiba, aku pulang ke rumah diantar oleh pacarku. Kulihat kakakku pun berada disana dengan tangan terbalut saputangan karena luka. Rumahku sekarang bersih sekali. Kaca jendela yang pecah yang terbengkalai sekian lama sudah kembali bagus. Ibu sudah bekerja keras untuk membenahi rumah ini untuk menyambut kepulangan kami, pikirku. Setelah memperkenalkan pacarku pada ibu dan kakakku. Ia harus kembali pulang ke kota. Aku ditinggal sendiri menghabiskan masa liburanku, "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk membersihkan rumah ini bagi kedatangan kami." Tetapi ibu menimpali sambil tersenyum, " Kakakmulah yang mengerjakan ini semua. Dia sengaja pulang lebih awal dari kamu. Untuk membersihkan rumah. Sampai tangannya terluka ketika memasang kaca jendela yang pecah itu. Tidakkah kau melihat luka yang ada pada tangan kakakmu?"

Aku segera menemui kakakku. Melihat wajahnya yang kurus segera aku mengambil perban dan tangan kakakku. Ku campakan sapu tangan yang membalut tangannya yang luka. Ku ambil salep antiseptik dan segera ku bungkus luka itu dengan perban. "Apakah tanganmu tidak sakit?", tanyaku. "Ah, tidak sakit. Ini tidak seberapa. Kamu tahu, di tempatku bekerja, batu-batu berjatuhan setiap saat. Bahkan pernah pada suatu ketika jatuh menimpa kakiku dan kepalaku.. Itu tidak menghentikanku bekerja dan......" Ia menghentikan bicaranya ketika dilihatnya aku memunggunginya dan air mataku deras mengalir ke wajahku. Dia berlalu seraya memegang kepalaku. 
Waktu itu usiaku 23 tahun dan kakakku 26 tahun.

Tangisan kelima
Akhirnya aku mendahului kakakku untuk menikah. dan aku tinggal di kota. Berulang kali aku dan suamiku mengajak kedua orang tuaku untuk tinggal bersamaku di kota, tetapi mereka menolak. Karena mereka tidak mau meninggalkan desa tempat hidup mereka. Kakakkupun juga tidak setuju. Ia berkata, " Jagalah mertuamu. Biar aku yang menjaga ibu dan ayah disini."

Suamiku menjadi Direktur di pabriknya. kami menginginkan kakakku mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai Manajer pada Departemen Pemeliharaan. Tetapi kakakku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras akan memulai usaha sendiri sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, kakakku mendapat kecelakaan ketika sedang memperbaiki rumah langganannya. Ia harus masuk rumah sakit. Aku bersama suamiku segera menjenguknya. Melihat tangan yang di gips, aku menggerutu, "Mengapa kau menolak menjadi manajer?Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kau tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan wajah serius, ia membela keputusannya, "Pikirkan suamimu, ia baru saja menjadi direktur, sedangkan aku hanya orang yang tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer hanya karena aku kakak iparnya. Apa nanti kata orang?" Mataku dipenuhi airmata dan kemudian keluar kata-kataku yang terpatah-patah: "Kau kurang pendidikan juga karena aku!". Lalu kata kakakku :"Mengapa membicarakan yang sudah berlalu?". 
Waktu itu aku berusia 27 tahun dan kakakku 30 tahun.

Tangisan keenam
Kakakku menikah dengan gadis petani di desaku. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Bahkan tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Adikku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan sudah tidak ku ingat lagi. "Ketika sekolah dulu, biasanya setiap hari Senin selalu diadakan upacara bendera. Dan aku kebagian menjadi petugas upacara itu. Kami semua diwajibkan memakai seragam lengkap. Kemeja putih, celana merah topi merah, dasi merah, sepatu hitam dan kaos kaki putih. Jika tidak mengenakan seragam itu tentunya akan mendapat hukuman. Pada saat itu dasi yang kupunya hilang entah kemana. Dan pada saat itu pula adikku menyodorkan dasi kepunyaannya padaku, katanya aku lebih memerlukannya. Tapi rupanya kewajiban memakai seragam lengkap itu bukan untuk petugas upacara saja tetapi juga untuk seluruh peserta upacara. Dan adikku tahu akan hal ini. Adikku mendapat hukuman dari sekolah karena ia tidak memakai dasi sebagai bagian dari seragam sekolah. Ku lihat dia di hukum dengan dijemur di tengah lapangan sendirian. Dia begitu kelelahan dan dia tidak menangis. Sejak hari itu, aku berjanji, selama aku masih hidup aku akan menjaga adikku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah keluar dari mulutku, "Dalam hidupku, orang yang paling layak mendapat terima kasihku adalah kakakku!".Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan kerumunan perayaan ini air mata bercucuran dari mataku seperti sungai. 
Waktu itu usiaku 30 tahun dan usia kakakku 33 tahun.
Read More …

Choi Sung Bong - Nella Fantasia 

Choi Sung-bong (최성봉; Hanja: 崔聖奉, born 18 February 1990) is a South Korean vocalist who became famous after his appearance on Korea's Got Talent was picked up by the worldwide news media. He finished second in the competition.

Korea's Got Talent Appearance and performance 
On 6 June 2011, Choi's performance of "Nella Fantasia" moved judges and audience members to tears. He introduced himself as a manual laborer who had made a living selling gum and energy drinks for ten years. All the judges, Kolleen Park, Jang Jin and Song Yun-ah, were impressed with his vocal talent. Choi advanced to the finals of the competition, finishing second by 280 votes. 

During his first appearance in replying to a judge's question on whether he had vocal training, Choi said that he studied on his own, but he would have taken master classes if he only had an opportunity. [For the competition], he just listened [to the recording of the song that he performed] and learned it on his own.". 

YouTube sensation 
Choi's performance clip made it to YouTube and triggered a worldwide Internet sensation. One version with English subtitles has triggered international press interest and a worldwide view that Choi was "the next Susan Boyle".The video itself has over 90 million views as of July 2013.

Background Childhood 
Abandoned in an orphanage at the age of 3, Choi said that he ran away from the institution when he was 5 years old because of having been beaten often. He lived in stairwells and public washrooms and sold chewing gum and energy drinks to survive. He also delivered milk and newspapers in addition to working as a laborer, beginning at age eight. Choi said that very bad things happened to him as a child and that he was sold to someone. 

However, he met a woman who ran a food cart outside a night club. She gave him the name "Ji-Sung". She also encouraged Choi to take the Korean equivalent of a GED (General Educational Development) exam so that he could complete his elementary and junior high curricula in order to enter high school. He graduated from Daejeon Arts High School. Choi stated during the audition that he had attended the high school. He also mentioned that there were no teachers to give him vocal training at the school since he did not have the financial resources to pay for master classes. He worked at a delivery service to earn tuition and money for lessons, but it resulted in a traumatic fall during his 8:00 p.m. to 7:00 a.m. shift. Choi subsequently received medical treatment at Kun Yang University Hospital. Prior to the fall, as a child, Choi had two car accidents for which he did not receive proper medical treatment for many years. When Choi got admitted at Kun Yang University Hospital due to other medical issues related to the earlier car accidents, he voluntarily performed a recital for four students who needed the financial aid for schools during his in-patient stay. He initially considered dropping out of high school, and his high school music teacher noted that Choi was often absent from classes due to his difficult situation. 

Choi could not continue with post-secondary education due to his limited financial resources. Instead, he worked as a construction worker with the type of work similar to that of a day laborer. Choi was able to track his official record with the name Sungbong Choi at the orphanage. However, this was not the name given to him by his parents. It was the name he was given by the orphanage; as a result, Choi preferred the name Ji-Sung over Sungbong. 

Musical background 
Choi was inspired to pursue a career in music when he was 14 years old, after listening to a classical vocalist at the nightclub where he sold chewing gum. He later found a teacher, Park Jung-So, who agreed to teach him without charge and helped him get into an arts high school at age 16. Choi mentioned during the Korea's Got Talent audition that he was particularly fascinated by the sincerity of the vocalist in contrast to the usual type of music heard at the club. He became a musical autodidact and later pursued classical vocal training at the musical department of Daejeon Arts High School. Choi stated that his favorite vocalist is Andrea Bocelli 2011 and on Sung Bong Choi sang the Korean national anthem for Korea's athletes ahead of the 2012 Olympic Games in London, UK. He has inspired We Hear Your Voice and performed at the Live at the Greek show with Shani Rigsbee and others.



Read More …

Ciri khusus genre film sains fiksi Holywood kerap kali mengetengahkan ide tentang keunguulan komputerisasi sebagai satu-satunya instrument penting industri film Amerika serikat dewasa ini. Ilustrasi dimensi ruang dan waktu dalam virtualisasi kapsul digital menjadi penanda dimulainya era digitaliasi sebagai tema mainstrim performativitas film Holywood, setidaknya 10 tahun belakangan.

Sekedar catatan, melalui film ini setidaknya kita diajak berkenalan dengan sejumlah teori postmodernisme. Lewat Simone memungkinkan siapa saja bisa mengenaliasis fenomena digitaliasi masyarakat kontemporer. Terlebih lagi keunggulan film ini bagi saya, tidak serumit memahami film The Matrix, karena menyimak film itu harus beberapa kali merewind setiap shot yang dianggap penting. Sebaliknya Simone terbilang cukup ‘rileks’. Unsur dramatis film ini mampu ‘menyederhanakan’ konsep Simulasi dan hiperealitas peningglan selebritis postmo Jean Baudrillard, dengan sentuhan apik nan gurih dicerna tanpa membuat jidat penonton berkerut.

Film Simone diproduseri oleh rumah produksi New Line Cinema ini mengetengakan kisah tentang karir seorang sutradara gaek Viktor Taransky. Ambisi Viktor mempertahankan idealismenya semata-mata demi mempertimbangkan sisi kualitas pemainya menjadi ‘mimpi manis’ bagi jalan hidup karir sutradara Viktor. Negoisasai antara kualitas pemain dan keuntungan finanasial, bukan-lah tujauan akhir dari idealisme sang sutradara.

Bermula ketika kesulitan menghadirkan pemain utama, kandas oleh nilai kontrak yang tergolong besar untuk ukuran kantong sutradara “kecil” macam Viktor. Entah seperti mendapat ‘wangisit’, melalui koleganya seorang insinyur komputer bernama Hank Angelo, peluang karir Viktor di dunia perfilman diprediksi bakal melejit, ketika Hank menghadiakan Viktor seperangakat data lunak yang didalamnya ternyata bersemayam sosok manusia digital hasil manipulasi rumusan angka matematika. Hingga akhirnya Viktor menjatuhkan pilihanya pada sosok virtual tersebut, menjadi bintang utama dalam filmnya. Dari sinilah awal karir sang sutradara itu menapaki kesuksesaan berkat memanfaatkan sosok maya pemberian Hank Angelo.

Meminjam pemikiran Filsof Prancis Jean Baudrillard, film ini terilhami dari teorinya tetang paraktik simulasi dalam peta perkembangan masyarakat mukhtahir. Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Sebuah entitas masyarakat yang hidup dalam jibaku ruang kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulasi. Ciri dari masyarakat yang mengkuduskan praktik konsumsi sebagai gaya hidup dan prestise pengkultusan individu.

Dalam wacana simulasi, manusia mendiami sebuah ruang yang mengeliminir perbedaan antara yang nyata dan fantasi, asli dan palsu terkesan sangat tipis. Dramatisasi unsur teorema simulasi dalam film Simone tercermin pada sosok Simone sebagai artis virtual hasil kerja digitalisasi komputer dibawah kendali sang sutradara Victor Taransky.

Simone: Simulasi One

Dalam film Simone, praktik simulasi nampak pada kehadiran sosok perempuan virtual hasil ciptaan teknologi komputerisasi dalam wujud hologram-yang kemudian diberi nama Simone, singkatan dari simulasi one.


Sembilan bulan kemudian, sosok Simone “manusia buatan” ini- dikendalikan oleh Viktor demi mewujudkan ambisinya sebagai sutradara handal. Viktor telah “memanfaaatkan” Simone atas nama citra dan pamor karir cinemanya.


Walhasil, melalui sentuhan kreativitas Viktor, Sosok Simone yang sebenernya hanya virtual itu telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat diseluruh belahan dunia. Respon Media massa turut andil mengkonstruksi karakter simbolis selebritis Simone melambungkan namanya menjadi bintang film kawakan. Sejumlah liputan dan talk show jarak jauh oleh media massa turut menambah drajat performativitas Simone hingga mendapat tempat di hati penggemarnya.

Namun dibalik ketenaranya, tidak ada yang tahu, kehadiran Simone hanya akal-akalan Viktor melalui kendali komputer diruang kerjanya. Viktor sepenuhnya mengendalikan Simone, seperti: manipulasi suara dalam percakapan mengunakan bahasa tuturan yang diaturnya, mengatur mimik wajah, pilihan busana, hingga rekayasa air mata buatan turut memberi kesan sedih dan ibah pada sosok maya Simone. Atas rekayasa itu, membuat publik tak jarang larut dalam rasa simpati mendalam atas Simone. Publik meresa telah memiliki Simone, dan akhirnya publikpun takut kehilangannya.

Kepiawayaan alur narasi cinema yang apik oleh sutradara Anderew Nicola dalam menyadur teori simulasinya Buadriral, layak dianjungi jempol. Sangat jarang seorang sutradara dalam kapasitasnya mampu maramu teori atau konsep-konesep abstark filsafat menjadi lebih muda dipahami. Bagi saya Simone berhasil mengurai benang kusut praktik-praktik simulasi. Setidaknya terlihat dalam film ini memberikan pesan berupa peringatan atas bahaya kuasa dunia simulasi, mampu mengubah yang imajiner,palsu dan ilutif menjadi realitas yang sesungguhnya dalam masyarakat yang termediasikan oleh tanda dan symbol. Salah satunya teramati pada adegan, ketika rasa penasaran publik memicu kecurigaan perihal sosok Simone yang sangat tertutup. Dua orang pihak berwajib mencurigai Viktor telah memasung (menyembunyikan) Simone. Kecurigaan itu nampak dalam adegan ketika dua orang detektif saat memperhatikan lokasi wawancara Simone di sebuah tayangan televise, ketika mereka mendatangi lokasi tersebut, dan mencocokan foto hasil rekaman di media- ternyata ditemukan bukti ada ketidaksamaan posisi saat pengambilan gambar, bahwa temuan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Dimana pada lokasi yang sebenarnya tidak ada latar gunung, seperti pada wawancara di salah satu stasion televisi. Pihak berwajib mengklaim Justru seharusnya sebuah hotel menjadi latar, namun kenyataanya tidak nampak. Kedua polisi ini pun dibut bingung. Hingga makin meyakini kecurigaan mereka bahwa simone sengaja disembunyikan oleh viktor.

Pada kondisi inilah batasan antara realitas dengan imajinasi kian sukar dibedakan dalam silang-marut tanda menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta.

Hiperrealitas
Simone sebagai bintang film benar-benar nyata dihadapan publik. Perangkat super komputer telah mejadikanya seolah bernyawa seperti layaknya manusia. Pengalaman publik atas Simone dalam hyperreal dunia yang dilipat oleh manipulasi citra (diselenggarakan dalam cengkeraman simulacra)

Publik atau audience penggemar Simone telah mendiami sebuah ruang tanda yang sarat dengan duplikasi dan daur ulang berbagai fragmen dan citra dari sosok virtual Simone. Duplikasi realtias ini mewujud dalam lipatan –lipatan realtias. (baca: Hiperealitas) ketika publik mempercayai Simone adalah sosok nyata tanpa cacat yang hidup dan beraktivitas layaknya manusia normal. Manipulasi virtualisasi Simone menyebar hingga publikpun menantikan kehadiran sosok Simone dalam film garapan Viktor selanjutnya. Masa menunggu ini menjadi desakan publik bagi viktor untuk menggarap ulang film yang diperankan Simone.

Penantian banyak penggemar seolah menjadi kehararusan betapa Simone dicintai oleh masyarakat. Mislanya ketika publik menanti kedatangan Simone turun dari Limosine, namun figure simone tak pernah menampakan batang hidungnya. Justru muncul malah Viktor yang bertindak sebagai juru bicara Simone. Ulah Viktor ini membuat kecewa pengemarnya. Belum lagi menyusul sejumlah media bersaing mewawancarainya, hingga tak jarang jadi rebutan tampil secara eksklusif disejumlah media papan atas.

Publikpun sempat dibuat histeris ketika Simone hadir megisi konser akbar, meski penampilanya tidak secara langsung. Namun cukup meredupkan kerinduan pengermarnya. Daya pikat Simone membuat mata penonton tak henti-henti memuja idolanya itu. Sampai pada suatu ketika Simone didaulat sebagai pemenang Oscar kategori bintang film terbaik untuk dua film karya Viktor sekaligus. Publik mempercyai bahwa Simone layak memperoleh penghargaan bergensi itu.

Sampai pada suatu ketika lipatan simulasi ini beroperasi tanpa disadari Vktor, saat moment penganugrahan film terbaik, terjadi insiden cukup memalukan karena viktor justru tertipu oleh dirinya sendiri yang tak lain adalah simone. Dalam sambutan penganugerahan simone mengucapkan terimaksaih kepada pihak yang telah berkerjasama mensukseskan film yang dibintanginya, namun ironisnya Simone tidak mengucapakan terimasakihnya kepada Viktor sebagai sutradara, hanya kerena viktor sendri tidak memprorgram ucapan itu sebagaimana bisanya ia melakukan peniruan suara dan ucapan untuk dituturkan Simone. Sesuatu yang barang kali menjadi tidak mungkin karena harus menyatakan terimakasih bagi dirinya sendiri. Sosok viktor pun sebenarnya juga ditipu secara tidak sadar ikut larut dalam lapisan simulacrum yang telah dibuatnya itu.

Tingkat frustasi Viktor atas desakan pengemar Simone dan represifitas media massa menggugat rasa ingin tahu atas identitas simone, membuat dirinya berusaha membuka rahasia ini kepada mantan istrinya. Viktor mencoba meyakinkan mantan istrinya (Elaine) bahwa Simone adalah hasil ciptaanya, namun lagi-lagi Elaine tidak begitu saja mempercayainya malah justru dengan mudahnya ia mengatakan setiap artis/aktor diciptakan oleh sutradara. Hal ini sekaligus membantah bahwa Simone bukanlah sosok imajiner. Sehingga layak untuk dipecaya sebagai sebuah kenyataan dalam lingkaran dunia hiperealias. Simak peryantaan Viktor berikut ini:


Viktor: Simone bukan orang sungguhan/ Aku yang menciptakan Simone, dari kode computer yang dibuat dari persamaan matematika/ tidak ada Simone. Simone adalah aku/ aku mengambil hal yang tak nyata dan membuatnya nyata. Aku memberi kehiduapan pada mesin.

Begitupun pada adegan, ketika viktor ingin melenyapkan Simone, dalam percakapanya berikut ini: viktor: kita semua hidup dalam sebuah kebohongan besar, tapi kenapa (somone) tak hidup juga./ kau lebih asli dari semua orang yang memuja-mu/aku telah meyakinkan kepada dunia bahwa kau ada/ tapi yang sebenarnya yang kulakukan adalah meyakikan mereka bahwa aku yang ada/masalahnya karena bukan kamu manusia, tapi karena aku manusia.


Kerja keras Viktor mempertahankan Simone demi menjaga agar kebohongan Public ini tetap terjaga rahasianya terus mendapat tekanan dari pengemarnya sampai suatu ketika ia tak kuasa lagi menerima kenyataan Mempercayai sosok simone sebagai sosok nyata. Viktor akhirnya berusaha menghapus jejak Simone dengan memasukan virus di dalam programnya. Akan tetapi tindakanya itu malah jadi boomerang baginya dikarenakan ia telah menyatakan ke publik bahwa Simone telah meninggal. Maka tak ayal jeratan hukum telah menghantaui Viktor. Dalam sebuah masyarakat yang sudah tersimulasi, publik telah terlanjur mempercayai Simone sebagai manusia, Viktor lupa bahwa tindakanya itu akan menjeratnya pada tindakan pidana

Sejumlah alat bukti cukup kuat memposisikan viktor sebagai pelaku pembunuhan Simone. Ketika viktor megumumkan kematian Simone ke publik. Pihak kepolisian setempat menuding Viktor dalang pembunuh Simone. Kecurigaan ini mencapai puncaknya saat pemakaman, ketika peti jenasah akan didoakan, saat itu polisi datang mengamati peti dan menemukan tidak ada jenazah Simone di dalamnya. Alasan ini menjadi pembenaran yang diajukan pihak berwajib menuduh Viktor sekali lagi sebagai otak pembunuh Simone yang sebenrnya hanya sosok virtual itu.
Viktor mencoba meyakinkan pihak kepolisian tentang sosok virtual Simone, justru dianggap tidak rasional. Alasanya mereka masih tetap meyakini Simone adalah sosok manusia. Jika ditelisik disinilah kuasa tanda dalam ruang simulacra telah “membutakan”publik, bahwa sebenarnya tidak ada pembunuhan terhadap Simone. Viktor mengakui bahwa simone itu hanyalah tipuan computer, semua pemberitaan di media: Koran, majalah, radio dan televise adalah palsu. Namun pihak berwajib tetap sulit menerima argument dan pembelaanya yang dinilai sulit dinalar meningat banyaknya pengemar sebagai bukti kuat Simon adalah sosok manusia nyata.Seperti dalam percakapan berikut:

Polisi: peggemar Simone itu benar-benar ada
Victor: sebenarnya mereka mengagumi kode computer, anggka satu dan nol.
Polisi: jadi mustahil kau membunuh Simone
Vikctor: ya, karena memang tidak ada Simone


Refleksi
Ketika masyarakat telah tersusupi dalam ruang tanda, maka segala yang palsu dianggap benar, hingga meyakininya melebihi realitias yang sebenarnya… sama kasusnya ketika ada diantara kita masih menganggap pemberitaan di media, hasutan iklan, ocehan legislatif, janji murahan pemerintah, gossip selebritis, tayangan pencarian bakat hingga program acara yang diklaim mengusung genre reality show merupakan kebenaran atau realitas sesungguhnya, padahal Bagi Baudrillard melalui konsep simulasi, hal itu tidak lebih sebagai arena manipulasi citra dan konstruksi imajinasi atas kuasa tanda dalam masyarakat post industrial dewasa ini.

Dengan contoh yang sederhana Baudrillard meilustrasikan dunia simulasi menyerupai analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi malah sebaliknya. Peta mendahului (melampaui) wilayah. Realitas sosial, budaya,ekonomi bahkan politik, dirujuk berlandaskan bangunan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, keliru jika menganggap realitas adalah kenyataan yang otentik, justru model dan tampilan itulah diyakini sebagai kenyataan (Baudrillard, 1987: 17). Ambil contoh sebagian masyarkat dewasa ini terpukau pada Boy Band Korea, Indonesian idol, Boneka Barbie, tokoh Superman, iklan televisi, Sinetron atau Mickey Mouse. Hingga merambah pada dunia miniature, misalnya Disneyland, Trans studio dan Taman Mini indonesia Indah, turut menuguhkan imajinasi dunia hiburan yang semu, namun diyakini sebagai kenyataan tanpa tanding itu, adalah model-model acuan nilai, representasi dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.

Lebih jauh lagi Baudrillard berdalih, saat ini telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat. Jika sebelumnya adalah Masyarakat industrial, saat ini telah ditandai oleh masyarakat konsumer: masyarakat yang memilki hasrat mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang didenyutkan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, provokasi media dan iklan. semuanya lebur menjadi satu dalam gerakan silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33). Lebih lugas lagi David Harvey mengatakan Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).

Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam labirin kesemuan tanpa batas, teralieanasi tanpa kuasa

Read More …