Aku Menangis Enam Kali
Aku dilahirkan di kota kecil. Orang
tuaku hanya buruh kecil dengan pendapatan tak seberapa. Aku mempunyai
seorang kakak lelaki, tiga tahun lebih tua dariku.
Tangisan pertama
Suatu
ketika, sebuah jepit rambut mencuri perhatianku. Bentuknya manis dan
lucu. Seperti yang dikenakan oleh teman-teman di sekolahku. Keinginan
untuk memilikinya begtu kuat. Sehingga aku nekat mencuri uang ayahku
sebesar lima ribu rupiah dari laci lemari pakaiannya, untuk segera
membeli jepit rambut yang dijajakan itu. Tapi ayah mengetahui uangnya
hilang. dengan sebilah rotan dia segera memanggil aku dan kakakku untuk
mencari tahu siapa yang mencuri uangnya, "Siapa yang mencuri uang
itu?"tanyanya. Aku terpaku, karena terlalu takut untuk berbicara. Karena
ayah tidak mendengar pengakuan dari kami, dia mengatakan: "Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dihajar!" Dia mengangkat tongkat rotan
itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, kakakku mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang mengambilnya!"
Tongkat
rotan menghantam punggung kakakku bertubi-tubi. Ayah begitu marah
sehingga ia terus menerus memukuli kakakku sampai kehabisan nafas.
Sesudah itu, sambil duduk diatas bangku butut, ia kembali memarahi
kakakku: "Kamu sudah jadi pencuri sekarang. Hal yang sangat memalukan.
Bagaimana nanti jika di masa mendatang. Tentunya kau akan menjadi
perampok! Tidak tahu malu!"
Malamnya, aku dan ibuku memeluk
kakakku. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi dia tidak meneteskan air
mata setetespun. Di tengah malam, aku mulai menangis, sejadi-jadinya.
Tapi tangan kakakku segera menutup mulutku seraya berkata, "Sudahlah
jangan menangis.Semuanya sudah terjadi." Aku membenci diriku sendiri
karena tidak cukup punya keberanian untuk mengakui perbuatanku.
Tahun demi tahun telah berlalu,
tapi insiden itu masih tergambar jelas. Aku tidak pernah lupa wajah
kakakku ketika menghadapi hukuman itu untuk melindungiku.
Waktu itu aku berusia 8 tahun dan kakakku 11 tahun.
Tangisan kedua
Ketika
kakakku lulus dari SMA nya dan ia berniat untuk melanjutkan
pendidikannya ke universitas. Begitupun aku yang lulus dari SMP dan
berniat pula untuk melanjutkan ke SMA. Kami mendengar pembicaraan kedua
orang tua kami : "Kedua anak kita pendidikannya telah memberikan hasil
yang baik", kata ayah. "Tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita tak bisa
membiayaikeduanya sekaligus." timpal ibu. "Akan aku coba mengusahakan
agar kedua anak kita bisa melanjutkan sekolahnya."kata ayah.
Saat itu juga, kakakku
menghampiri kedua orang tua kami dan berkata: "Ayah, aku tidak mau
melanjutkan sekolah lagi. Sepertinya aku telah cukup mendapatkan ilmu."
Tanpa dinyana ayah menampar kakakku, sambil berkata: "Mengapa kau
mempunyai jiwa yang lemah?Aku akan berusaha untuk mencari uang untuk
membiayai kau dan adikmu unruk tetap bersekolah. Jika aku perlu aku akan
mengemis di jalanan. Anak laki-lakiku hatus meneruskan sekolah. Agar
kita semua bisa keluar dari jurang kemiskinan ini."
Setelah melihat adegan tadi,
diam-diam akupun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahku. Sampai
pada keesokan hari, aku tak mendapati kakaku di rumah. Rupanya dia pergi
meninggalkan rumah dan dia meninggalkan secarik kertas bertuliskan:
"Masuk ke perguruan tinggi tidak mudah dan tidak murah. Aku pergi
mencari kerja dan akan mengirimi kau uang agar kau bisa terus sekolah."
Aku memegang kertas itu di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran membasahi bantalku. Suaraku hilang.
Waktu itu aku berusia 17 tahun dan kakakku 20 tahun.
Tangisan ketiga
Dengan
uang bekal yang diberikan ayah dan kiriman dari kakakku yang sekarang
bekerja di perusahaan konstruksi di kota besar. Akhirnya aku bisa kuliah
di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Suatu hari, aku sedang
belajar di kamar kostku., ketika temanku memberitahukan, "Ada seorang
penduduk desa menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada penduduk desa
mencariku?Siapa dia? Aku berjalan keluar kamar dan melihat seseorang
yang berpakaian lusuh. Seluruh badannya kotor kotor penuh debu. setelah
melihat lebih dekat, ternyata kakakku, "Mengapa kau tidak bilang pada
temanku bahwa kau kakakku?" Dia menjawab sambil tersenyum, " Lihat
penampilanku. Apa yang mereka pikir jika mereka tahu aku adalah kakakmu?
Pasti mereka akan menertawakanmu."
Aku terenyuh. Air mata memenuhi
mataku. Aku segera menyapu debu-debu dari tubuh kakakku, dan berkata
dengan tersendat-sendat,"Aku tidak peduli omongan siapapun!Kau adalah
kakakku. apapun dan bagaimanapun penampilanmu."
Dari sakunya, ia mengeluarkan
sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan
menjelaskan, "Aku melihat melihat semua gadis-gadis kota memakainya.
Jadi aku pikir adikku harus memakainya juga." Aku tidak dapat menahan
diriku lebih lama lagi. Aku memeluk kakakku lalu menangis dan menangis.
Waktu itu aku berusia 21 tahun dan kakakku 24 tahun.
Tangisan keempat
Ketika
musim liburan tiba, aku pulang ke rumah diantar oleh pacarku. Kulihat
kakakku pun berada disana dengan tangan terbalut saputangan karena luka.
Rumahku sekarang bersih sekali. Kaca jendela yang pecah yang
terbengkalai sekian lama sudah kembali bagus. Ibu sudah bekerja keras
untuk membenahi rumah ini untuk menyambut kepulangan kami, pikirku.
Setelah memperkenalkan pacarku pada ibu dan kakakku. Ia harus kembali
pulang ke kota. Aku ditinggal sendiri menghabiskan masa liburanku, "Bu,
ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk
membersihkan rumah ini bagi kedatangan kami." Tetapi ibu menimpali
sambil tersenyum, " Kakakmulah yang mengerjakan ini semua. Dia sengaja
pulang lebih awal dari kamu. Untuk membersihkan rumah. Sampai tangannya
terluka ketika memasang kaca jendela yang pecah itu. Tidakkah kau
melihat luka yang ada pada tangan kakakmu?"
Aku segera menemui kakakku.
Melihat wajahnya yang kurus segera aku mengambil perban dan tangan
kakakku. Ku campakan sapu tangan yang membalut tangannya yang luka. Ku
ambil salep antiseptik dan segera ku bungkus luka itu dengan perban.
"Apakah tanganmu tidak sakit?", tanyaku. "Ah, tidak sakit. Ini tidak
seberapa. Kamu tahu, di tempatku bekerja, batu-batu berjatuhan setiap
saat. Bahkan pernah pada suatu ketika jatuh menimpa kakiku dan
kepalaku.. Itu tidak menghentikanku bekerja dan......" Ia menghentikan
bicaranya ketika dilihatnya aku memunggunginya dan air mataku deras
mengalir ke wajahku. Dia berlalu seraya memegang kepalaku.
Waktu itu usiaku 23 tahun dan kakakku 26 tahun.
Tangisan kelima
Akhirnya
aku mendahului kakakku untuk menikah. dan aku tinggal di kota. Berulang
kali aku dan suamiku mengajak kedua orang tuaku untuk tinggal bersamaku
di kota, tetapi mereka menolak. Karena mereka tidak mau meninggalkan
desa tempat hidup mereka. Kakakkupun juga tidak setuju. Ia berkata, "
Jagalah mertuamu. Biar aku yang menjaga ibu dan ayah disini."
Suamiku menjadi Direktur di
pabriknya. kami menginginkan kakakku mendapatkan pekerjaan yang layak
sebagai Manajer pada Departemen Pemeliharaan. Tetapi kakakku menolak
tawaran tersebut. Ia bersikeras akan memulai usaha sendiri sebagai
pekerja reparasi.
Suatu hari, kakakku mendapat
kecelakaan ketika sedang memperbaiki rumah langganannya. Ia harus masuk
rumah sakit. Aku bersama suamiku segera menjenguknya. Melihat tangan
yang di gips, aku menggerutu, "Mengapa kau menolak menjadi
manajer?Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya
seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kau
tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan wajah serius, ia membela
keputusannya, "Pikirkan suamimu, ia baru saja menjadi direktur,
sedangkan aku hanya orang yang tidak berpendidikan. Jika aku menjadi
manajer hanya karena aku kakak iparnya. Apa nanti kata orang?" Mataku
dipenuhi airmata dan kemudian keluar kata-kataku yang terpatah-patah:
"Kau kurang pendidikan juga karena aku!". Lalu kata kakakku :"Mengapa
membicarakan yang sudah berlalu?".
Waktu itu aku berusia 27 tahun dan kakakku 30 tahun.
Tangisan keenam
Kakakku
menikah dengan gadis petani di desaku. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati
dan kasihi?" Bahkan tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Adikku." Ia
melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan sudah
tidak ku ingat lagi. "Ketika sekolah dulu, biasanya setiap hari Senin
selalu diadakan upacara bendera. Dan aku kebagian menjadi petugas
upacara itu. Kami semua diwajibkan memakai seragam lengkap. Kemeja
putih, celana merah topi merah, dasi merah, sepatu hitam dan kaos kaki
putih. Jika tidak mengenakan seragam itu tentunya akan mendapat hukuman.
Pada saat itu dasi yang kupunya hilang entah kemana. Dan pada saat itu
pula adikku menyodorkan dasi kepunyaannya padaku, katanya aku lebih
memerlukannya. Tapi rupanya kewajiban memakai seragam lengkap itu bukan
untuk petugas upacara saja tetapi juga untuk seluruh peserta upacara.
Dan adikku tahu akan hal ini. Adikku mendapat hukuman dari sekolah
karena ia tidak memakai dasi sebagai bagian dari seragam sekolah. Ku
lihat dia di hukum dengan dijemur di tengah lapangan sendirian. Dia
begitu kelelahan dan dia tidak menangis. Sejak hari itu, aku berjanji,
selama aku masih hidup aku akan menjaga adikku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah keluar dari mulutku, "Dalam hidupku,
orang yang paling layak mendapat terima kasihku adalah kakakku!".Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,di depan kerumunan perayaan
ini air mata bercucuran dari mataku seperti sungai.
Waktu itu usiaku 30 tahun dan usia kakakku 33 tahun.